Posted by : Al Barokah
Monday, 18 February 2019
Masih terngiang-ngiang
dalam ingatan kita ketika dulu zaman masih sekolah SD atau SMP, kita diajarkan
bahwa makna kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” adalah “Tidak ada
Tuhan selain Allah”. Inilah makna yang selama ini terpatri dalam hati
sanubari kita tanpa sedikit pun kita berfikir tentang kebenaran makna tersebut.
Karena memang itulah yang diajarkan oleh guru-guru kita pada saat masih sekolah
dulu dan yang tertulis atau tercetak dalam buku-buku pelajaran agama kita.
Kesalahpahaman ini tidak
hanya dialami oleh masyarakat awam, bahkan orang-orang yang dikenal sebagai
“cendekiawan” muslim pun salah paham tentang makna kalimat tauhid ini.
Buktinya, di antara mereka ada yang mengartikan “laa ilaaha illallah” sebagai
“Tidak ada tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar)”.
Untuk Apa Kita Membahas Makna Kalimat Tauhid?
Mungkin inilah
pertanyaan yang muncul di benak para pembaca berkaitan dengan pembahasan kita
dalam tulisan ini. Ya, untuk apa kita membahas makna kalimat tauhid? Toh
kita sudah mengucapkannya, kita pun sudah melaksanakan ajaran agama Islam
seperti shalat lima waktu, setiap hari Jumat kita pergi ke masjid untuk shalat
Jumat, atau setiap bulan Ramadhan kita berpuasa.
Perlu diketahui, kalimat
“laa ilaaha illallah” adalah rukun pertama dan rukun yang paling penting
sehingga seseorang dapat disebut sebagai seorang muslim. Karena seorang muslim
adalah hamba yang taat dan tunduk kepada Allah Ta’ala, dan hal itu tidaklah
mungkin terlaksana kecuali dia meyakini dalam hatinya tentang makna kalimat
tersebut. Kalimat tauhid merupakan pokok agama Islam dan sumber kekuatan Islam.
Adapun aqidah dan hukum-hukum Islam yang lain, semuanya dibangun di atas
landasan kalimat tauhid. Kekuatan bangunan Islam tidaklah mungkin kokoh kecuali
bersumber dari kekuatan kalimat tauhid. Apabila landasan tersebut hancur, maka
hancurlah pula Islam seseorang dan tidak akan tersisa sama sekali. [1]
Yang perlu digarisbawahi
juga adalah bahwa kalimat “laa ilaaha illallah” yang diucapkan oleh
seseorang tidak akan bermanfaat kecuali dengan memenuhi seluruh
syarat-syaratnya dan mengamalkan konsekuensinya, baik secara lahir maupun
batin. [2] Hal ini juga sebagaimana ibadah shalat yang tidak akan sah
kecuali dengan memenuhi syarat dan rukunnya, serta tidak melakukan pembatal
shalat.
Di antara syarat
persaksian “laa ilaaha illallah” yang harus dipenuhi adalah seseorang
harus mengetahui makna kalimat tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah,
bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.” [QS.
Muhammad : 19]
Begitu juga Allah Ta’ala
berfirman,
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi (orang yang
dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui dengan benar (laa ilaha
illallah) dan mereka meyakini(nya).” [QS. Az-Zukhruf : 86]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa mati dalam
keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah,
maka dia akan masuk surga.” [HR. Muslim no. 145]
Dari dalil-dalil dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut, para ulama rahimahullah menyimpulkan
bahwa salah satu syarat sah “laa ilaaha illallah” adalah seseorang
mengetahui makna “laa ilaaha illallah” dengan benar.
Ketika seseorang
bertanya kepada Wahab bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah kalimat
‘laa ilaaha illallah’ itu adalah kunci surga?” maka beliau rahimahullah menjawab,
بَلَى ، وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلاَّ لَهُ أَسْنَانٌ ، فَإِنْ
جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ ، وَإِلاَّ لَمْ يُفْتَحْ لَكَ
“Benar. Akan tetapi,
tidak ada sebuah kunci kecuali pasti memiliki gerigi. Jika Engkau memasukinya
dengan kunci yang memiliki gerigi, maka pintu tersebut akan terbuka. Namun jika
tidak memiliki gerigi, maka pintu tersebut tidak akan terbuka.” [HR. Bukhari
dengan shighat ta’liq di Kitab Al-Janaiz, Bab “Man Kaana
Akhiru Kalaamihi Laa ilaaha Illallah”, 5/76]
Lalu, apakah yang
menjadi gerigi dari kunci tersebut? Gerigi dari kunci “laa ilaaha illallah” tidak
lain adalah syarat-syarat “laa ilaaha illallah.” [3] Dan di
antara syarat “laa ilaaha illallah” adalah seseorang memahami makna yang
terkandung di dalamnya.
Makna dari Kalimat “Tidak Ada Tuhan selain Allah”
“Tidak ada Tuhan selain
Allah” merupakan makna kalimat “laa
ilaaha illallah” yang populer di kalangan kaum muslimin. Dalam hal ini,
kata “ilah” diartikan dengan kata “Tuhan”. Namun perlu diketahui
bahwa kata “Tuhan” di dalam percakapan bahasa Indonesia memiliki dua makna,
yaitu:
Pertama, kata “Tuhan” yang identik dengan pencipta,
pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang dapat
memberikan manfaat atau mendatangkan madharat. Ringkasnya, kata “Tuhan”
di sini dimaknai dengan makna rububiyyah (sifat-sifat ketuhanan).
Kedua, kata “Tuhan” yang berarti sesembahan. Yaitu
sesuatu yang menjadi tujuan segala jenis aktivitas ibadah. [4]
Karena terdapat dua
makna untuk kata “Tuhan”, maka kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah”
juga memiliki dua pengertian, yaitu:
Pengertian pertama, yaitu: “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan
pengatur alam semesta selain Allah.”
Pengertian kedua, yaitu: “Tidak ada sesembahan selain Allah.”
Oleh karena itu, dalam
pembahasan selanjutnya kita akan meninjau apakah memaknai kalimat “laa
ilaaha illallah” dengan dua pengertian tersebut sudah benar serta
berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah?
[Bersambung]
***
@Rumah Lendah, 29 Rabiul
Akhir 1440/ 6 Januari 2019
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Catatan kaki:
[1] Mabaadi’
Al-Islam, hal. 87. Dikutip dari Al-Wala’
wa Al-Bara’ fil Islam, hal. 43.
[2] Lihat At-Tanbihaat Al-Mukhtasharah, hal.
33.
[3] Lihat Al-Wala’ wa Al-Bara’ fil Islam, hal.
23.
[4] Lihat Sucikan Iman Anda, hal. 17;
karya guru kami, Ustadz Abu ‘Isa Abdullah bin Salam hafidzahullahu Ta’ala.
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/45149-kebodohan-kita-terhadap-makna-kalimat-tauhid-bag-1.html