Archive for February 2019
Pada awal kelas filsafat di sebuah universitas, profesor berdiri dengan
beberapa item yang terlihat berbahaya di mejanya. Yaitu sebuah
toples mayonaisse kosong, beberapa batu, beberapa kerikil, dan
pasir. Mahasiswa memandang benda-benda tersebut dengan penasaran. Mereka
bertanya-tanya, apa yang ingin profesor itu lakukan dan mencoba untuk
menebak demonstrasi apa yang akan terjadi.
Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, profesor mulai meletakkan batu-batu kecil ke dalam toples mayonaisse
satu per satu. Para siswa pun bingung, namun profesor tidak memberikan
penjelasan terlebih dahulu. Setelah batu-batu itu sampai ke leher
tabung, profesor berbicara untuk pertama kalinya hari itu. Dia bertanya
kepada siswa apakah mereka pikir toples itu sudah penuh. Para siswa
sepakat bahwa toples tersebut sudah penuh.
Profesor itu lalu mengambil kerikil di atas meja dan perlahan
menuangkan kerikil tersebut ke dalam toples. Kerikil kecil tersebut
menemukan celah di antara batu-batu besar. Profesor itu kemudian
mengguncang ringan toples tersebut untuk memungkinkan kerikil menetap
pada celah yang terdapat di dalam stoples. Ia kemudian kembali bertanya
kepada siswa apakah toples itu sudah penuh, dan mahasiswa kembali
sepakat bahwa toples tersebut sudah penuh.
Para siswa sekarang tahu apa yang akan profesor lakukan selanjutnya,
tapi mereka masih tidak mengerti mengapa profesor melakukannya. Profesor
itu mengambil pasir dan menuangkannya ke dalam toples mayones. Pasir,
seperti yang diharapkan, mengisi setiap ruang yang tersisa dalam
stoples. Profesor untuk terakhir kalinya bertanya pada murid-muridnya,
apakah toples itu sudah penuh, dan jawabannya adalah sekali lagi : YA.
Profesor itu kemudian menjelaskan bahwa toples mayones adalah analogi
untuk kehidupan. Dia menyamakan batu dengan hal yang paling penting
dalam hidup, yaitu : Kesehatan, pasangan anda, anak-anak anda, dan semua
hal yang membuat hidup yang lengkap.
Dia kemudian membandingkan kerikil untuk hal-hal yang membuat hidup
anda nyaman seperti pekerjaan anda, rumah anda, dan mobil
anda. Akhirnya, ia menjelaskan pasir adalah hal-hal kecil yang tidak
terlalu penting di dalam hidup anda.
Profesor menjelaskan, menempatkan pasir terlebih dahulu di toples
akan menyebabkan tidak ada ruang untuk batu atau kerikil. Demikian pula,
mengacaukan hidup anda dengan hal-hal kecil akan menyebabkan anda tidak
memiliki ruang untuk hal-hal besar yang benar-benar berharga.
Pesan Moral : Perhatikan segala sesuatu yang penting
demi kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. Luangkan waktu untuk
bersama dengan anak-anak dan pasangan anda. Selesaikan pekerjaan anda
ketika anda berada di kantor, jangan saat anda sedang berkumpul dengan
keluarga. Dendam terhadap seseorang tidak akan bermanfaat untuk anda.
Dapatkan prioritas anda sekarang dan bedakan antara batu, kerikil, dan
pasir.
Batu, kerikil, dan pasir
“Tidak Ada Tuhan selain Allah”: Tidak Ada Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta selain Allah
Memaknai “laa ilaaha illallah” dengan kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” yang berarti: “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah” adalah pemahaman atau pemaknaan yang keliru.Berikut ini kami sampaikan tiga bukti yang menunjukkan kesalahan tersebut.
Bukti pertama,
Kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengakui bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta.Sebelumnya perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta adalah keyakinan dan aqidah yang benar serta tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ
النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ
مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ
رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah, Yang telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.
Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang, (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” [QS. Al-A’raf : 54]Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa keyakinan seperti ini juga dimiliki oleh kaum musyrikin Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berdakwah dahulu. Hal ini dapat kita ketahui dari dalil-dalil berikut ini.
Dalil pertama, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ
اللَّهُ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada
mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Tentu mereka akan
menjawab, ’Allah’.” [QS. Luqman : 25]Dalil kedua, Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ
يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ
وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ
اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rizki kepadamu
dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala
urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ’Allah.’ Maka katakanlah, ’Mengapa
kamu tidak bertakwa kepada-Nya?’” [QS. Yunus : 31]Dalil ketiga, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا
بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ
لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada
mereka, ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air
itu bumi sesudah matinya?’ Tentu mereka akan menjawab, ’Allah.’
Katakanlah, ’Segala puji bagi Allah.’ Akan tetapi kebanyakan mereka tidak
memahami(nya).” [QS. Al-‘Ankabuut : 63]Dalil keempat, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka,
’Siapakah yang menciptakan mereka?’, niscaya mereka menjawab, ’Allah.’
Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah Ta’ala)?” [QS.
Az-Zukhruf : 87]Dalil kelima, Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ
الْعَظِيمِ ؛ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah, ’Siapakah pemilik langit yang tujuh
dan pemilik ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ’Kepunyaan Allah.’
Katakanlah, ’Maka apakah kamu tidak bertakwa?’” [QS. Al-Mu’minuun : 86-87]Dari ayat-ayat di atas jelaslah bahwa kaum musyrikin pada zaman dahulu meyakini sifat-sifat rububiyyah Allah, yaitu bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam semesta. Namun, keyakinan seperti itu ternyata belum cukup untuk memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang bertauhid. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap memerangi mereka, menghalalkan darah dan harta mereka meskipun mereka memiliki keyakinan seperti itu.
Oleh karena itu, apabila kalimat “laa ilaaha illallah” diartikan dengan “Tidak ada pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rizki selain Allah”, atau “Tidak ada pengatur alam semesta selain Allah”, maka apakah yang membedakan antara orang-orang musyrik dan orang-orang Islam? Jika orang-orang musyrik itu masuk Islam dengan dituntut mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah” dengan makna seperti itu, lantas apa yang membedakan mereka ketika masih musyrik dan ketika sudah masuk Islam? Bukankah ketika mereka masih musyrik juga sudah mengakui bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam semesta?
Bukti ke dua,
Penolakan orang-orang musyrik untuk mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”.Bukti bahwa makna kalimat “laa ilaaha illallah” bukanlah “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, atau pengatur alam semesta selain Allah” juga dapat dilihat dari penolakan kaum musyrikin untuk mengucapkan kalimat tersebut. Karena apabila itulah makna kalimat tauhid, tentu mereka tidak akan keberatan sama sekali untuk mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”. Karena mereka sendiri sudah memiliki keyakinan tentang hal itu. Tentu mereka pun tidak akan memusuhi dan memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena dakwahnya tersebut. Namun yang kita dapati justru sebaliknya, mereka tidak mau mengucapkan kalimat tersebut, bahkan mereka memusuhi, menyiksa, dan membunuh setiap orang yang mau mengucapkan kalimat tersebut.
Buktinya, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka untuk mengucapkan kalimat tauhid, kaum musyrikin pada waktu itu tidak mau menyambut seruan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka justru mengatakan sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu
sebagai sesembahan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang
sangat mengherankan.” [QS. Shaad : 5] (Lihat At-Tanbiihatul
Mukhtasharah, hal. 34)Kalaulah maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kalimat tauhid tersebut adalah “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, atau pengatur alam semesta selain Allah”, tentu kaum musyrikin tersebut segera menyambut dakwah beliau dengan senang hati dan suka cita. Karena apa yang beliau dakwahkan sudah sama dengan apa yang mereka yakini sebelumnya.
Selain itu, marilah kita melihat kisah paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abu Thalib. Abu Thalib adalah seseorang yang telah banyak berjasa membantu dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, Abu Thalib tetap enggan untuk mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”. Bahkan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Thalib untuk mengucapkan kalimat ini di akhir hayatnya, dia tetap saja enggan untuk mengucapkannya.
Berikut ini kisah selengkapnya:
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم – فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ ، وَعَبْدَ
اللَّهِ بْنَ أَبِى أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – لأَبِى طَالِبٍ، يَا عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ،
كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ
اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ ، أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْرِضُهَا
عَلَيْهِ ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ
آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ
يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ .
“Ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia, maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya. Di sisi Abu
Thalib ada Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Thalib,
’Wahai pamanku! Katakanlah ‘laa ilaaha illallah’, suatu kalimat
yang dapat aku jadikan sebagai hujjah (argumentasi) untuk membelamu di sisi
Allah.’Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah berkata, ’Apakah Engkau membenci agama Abdul Muthallib?’ Maka Rasulullah terus-menerus mengulang perkataannya tersebut, sampai Abu Thalib akhirnya tidak mau mengucapkannya. Dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib dan enggan untuk mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’.” [HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 141]
Sekali lagi, penolakan Abu Thalib dan kaum musyrikin secara umum untuk mengucapkan “laa ilaaha illallah” menunjukkan bahwa makna kalimat tersebut bukanlah “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, atau pengatur alam semesta selain Allah”, karena keyakinan seperti ini telah mereka miliki sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah.
Bukti ketiga,
Konsekuensi dari makna tersebut berarti kaum musyrik pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah orang musyrik. Demikian pula, segala jenis perbuatan mereka yang menujukan ibadah kepada selain Allah Ta’ala berarti bukan syirik.Kesalahan memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, atau pengatur alam semesta selain Allah” juga dapat disimpulkan dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh makna tersebut. Karena konsekuensi dari makna tersebut adalah seseorang tetap disebut sebagai seorang muslim meskipun dia berdoa meminta kepada para wali yang sudah mati, atau berdoa kepada Allah Ta’ala melalui perantaraan (tawassul) orang-orang shalih yang sudah meninggal, atau menyembelih untuk jin penunggu jembatan, selama mereka memiliki keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta. Maka sungguh, ini adalah kekeliruan yang sangat fatal. Karena ternyata makna tersebut akan membuka berbagai macam pintu kemusyrikan di tengah-tengah kaum muslimin.
Padahal Allah Ta’ala tetap menyebut perbuatan orang-orang musyrik itu sebagai perbuatan syirik, meskipun mereka meyakini dan mengakui bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta. Allah Ta’ala berfirman,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا
يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ
أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak
dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan. Dan
mereka berkata, ’Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi
Allah.’ Katakanlah, ’Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak
diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’ Maha Suci Allah dan
Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu).” [QS. Yunus : 18]Berdasarkan ayat tersebut, kita dapat mengetahui bahwa alasan kaum musyrikin ketika mereka beribadah kepada selain Allah Ta’ala adalah bukan karena keyakinan bahwa sesembahan-sesembahan selain Allah itulah yang menciptakan atau memberi mereka rizki. Akan tetapi, sesembahan-sesembahan mereka itu hanyalah sebagai perantara dalam mencari syafa’at Allah Ta’ala. Dan mereka tetap memiliki keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang menciptakan dan Yang memberi rizki untuk mereka.
Kalau makna “laa ilaaha illallah” adalah “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah” maka tentu perbuatan kaum musyrikin tersebut tidak bisa disebut sebagai perbuatan syirik. Akan tetapi, di akhir ayat tersebut Allah Ta’ala tetap menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah kesyirikan dalam firman-Nya yang artinya, ”Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan itu.”
Dan apabila makna kalimat tauhid adalah “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah” tentu penyebutan perbuatan mereka dengan syirik oleh Allah Ta’ala dalam ayat tersebut adalah penyebutan yang keliru.
Sebagai kesimpulan, memaknai kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” dengan kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” yang berarti: “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah” adalah pemaknaan yang keliru dengan tiga bukti atau tiga argumentasi yang telah kami sampaikan di atas.
@Rumah Lendah, 29 Rabiul Akhir 1440/ 6 Januari 2019
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/45153-kebodohan-kita-terhadap-makna-kalimat-tauhid-bag-2.html
Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid (Bag. 2)
Masih terngiang-ngiang
dalam ingatan kita ketika dulu zaman masih sekolah SD atau SMP, kita diajarkan
bahwa makna kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” adalah “Tidak ada
Tuhan selain Allah”. Inilah makna yang selama ini terpatri dalam hati
sanubari kita tanpa sedikit pun kita berfikir tentang kebenaran makna tersebut.
Karena memang itulah yang diajarkan oleh guru-guru kita pada saat masih sekolah
dulu dan yang tertulis atau tercetak dalam buku-buku pelajaran agama kita.
Kesalahpahaman ini tidak
hanya dialami oleh masyarakat awam, bahkan orang-orang yang dikenal sebagai
“cendekiawan” muslim pun salah paham tentang makna kalimat tauhid ini.
Buktinya, di antara mereka ada yang mengartikan “laa ilaaha illallah” sebagai
“Tidak ada tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar)”.
Untuk Apa Kita Membahas Makna Kalimat Tauhid?
Mungkin inilah
pertanyaan yang muncul di benak para pembaca berkaitan dengan pembahasan kita
dalam tulisan ini. Ya, untuk apa kita membahas makna kalimat tauhid? Toh
kita sudah mengucapkannya, kita pun sudah melaksanakan ajaran agama Islam
seperti shalat lima waktu, setiap hari Jumat kita pergi ke masjid untuk shalat
Jumat, atau setiap bulan Ramadhan kita berpuasa.
Perlu diketahui, kalimat
“laa ilaaha illallah” adalah rukun pertama dan rukun yang paling penting
sehingga seseorang dapat disebut sebagai seorang muslim. Karena seorang muslim
adalah hamba yang taat dan tunduk kepada Allah Ta’ala, dan hal itu tidaklah
mungkin terlaksana kecuali dia meyakini dalam hatinya tentang makna kalimat
tersebut. Kalimat tauhid merupakan pokok agama Islam dan sumber kekuatan Islam.
Adapun aqidah dan hukum-hukum Islam yang lain, semuanya dibangun di atas
landasan kalimat tauhid. Kekuatan bangunan Islam tidaklah mungkin kokoh kecuali
bersumber dari kekuatan kalimat tauhid. Apabila landasan tersebut hancur, maka
hancurlah pula Islam seseorang dan tidak akan tersisa sama sekali. [1]
Yang perlu digarisbawahi
juga adalah bahwa kalimat “laa ilaaha illallah” yang diucapkan oleh
seseorang tidak akan bermanfaat kecuali dengan memenuhi seluruh
syarat-syaratnya dan mengamalkan konsekuensinya, baik secara lahir maupun
batin. [2] Hal ini juga sebagaimana ibadah shalat yang tidak akan sah
kecuali dengan memenuhi syarat dan rukunnya, serta tidak melakukan pembatal
shalat.
Di antara syarat
persaksian “laa ilaaha illallah” yang harus dipenuhi adalah seseorang
harus mengetahui makna kalimat tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah,
bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.” [QS.
Muhammad : 19]
Begitu juga Allah Ta’ala
berfirman,
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi (orang yang
dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui dengan benar (laa ilaha
illallah) dan mereka meyakini(nya).” [QS. Az-Zukhruf : 86]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa mati dalam
keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah,
maka dia akan masuk surga.” [HR. Muslim no. 145]
Dari dalil-dalil dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut, para ulama rahimahullah menyimpulkan
bahwa salah satu syarat sah “laa ilaaha illallah” adalah seseorang
mengetahui makna “laa ilaaha illallah” dengan benar.
Ketika seseorang
bertanya kepada Wahab bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah kalimat
‘laa ilaaha illallah’ itu adalah kunci surga?” maka beliau rahimahullah menjawab,
بَلَى ، وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلاَّ لَهُ أَسْنَانٌ ، فَإِنْ
جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ ، وَإِلاَّ لَمْ يُفْتَحْ لَكَ
“Benar. Akan tetapi,
tidak ada sebuah kunci kecuali pasti memiliki gerigi. Jika Engkau memasukinya
dengan kunci yang memiliki gerigi, maka pintu tersebut akan terbuka. Namun jika
tidak memiliki gerigi, maka pintu tersebut tidak akan terbuka.” [HR. Bukhari
dengan shighat ta’liq di Kitab Al-Janaiz, Bab “Man Kaana
Akhiru Kalaamihi Laa ilaaha Illallah”, 5/76]
Lalu, apakah yang
menjadi gerigi dari kunci tersebut? Gerigi dari kunci “laa ilaaha illallah” tidak
lain adalah syarat-syarat “laa ilaaha illallah.” [3] Dan di
antara syarat “laa ilaaha illallah” adalah seseorang memahami makna yang
terkandung di dalamnya.
Makna dari Kalimat “Tidak Ada Tuhan selain Allah”
“Tidak ada Tuhan selain
Allah” merupakan makna kalimat “laa
ilaaha illallah” yang populer di kalangan kaum muslimin. Dalam hal ini,
kata “ilah” diartikan dengan kata “Tuhan”. Namun perlu diketahui
bahwa kata “Tuhan” di dalam percakapan bahasa Indonesia memiliki dua makna,
yaitu:
Pertama, kata “Tuhan” yang identik dengan pencipta,
pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang dapat
memberikan manfaat atau mendatangkan madharat. Ringkasnya, kata “Tuhan”
di sini dimaknai dengan makna rububiyyah (sifat-sifat ketuhanan).
Kedua, kata “Tuhan” yang berarti sesembahan. Yaitu
sesuatu yang menjadi tujuan segala jenis aktivitas ibadah. [4]
Karena terdapat dua
makna untuk kata “Tuhan”, maka kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah”
juga memiliki dua pengertian, yaitu:
Pengertian pertama, yaitu: “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan
pengatur alam semesta selain Allah.”
Pengertian kedua, yaitu: “Tidak ada sesembahan selain Allah.”
Oleh karena itu, dalam
pembahasan selanjutnya kita akan meninjau apakah memaknai kalimat “laa
ilaaha illallah” dengan dua pengertian tersebut sudah benar serta
berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah?
[Bersambung]
***
@Rumah Lendah, 29 Rabiul
Akhir 1440/ 6 Januari 2019
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Catatan kaki:
[1] Mabaadi’
Al-Islam, hal. 87. Dikutip dari Al-Wala’
wa Al-Bara’ fil Islam, hal. 43.
[2] Lihat At-Tanbihaat Al-Mukhtasharah, hal.
33.
[3] Lihat Al-Wala’ wa Al-Bara’ fil Islam, hal.
23.
[4] Lihat Sucikan Iman Anda, hal. 17;
karya guru kami, Ustadz Abu ‘Isa Abdullah bin Salam hafidzahullahu Ta’ala.
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/45149-kebodohan-kita-terhadap-makna-kalimat-tauhid-bag-1.html