Archive for January 2016
(Arrahmah.com) – Pertanyaan: Ustadz putra kami berusia 6 tahun bertanya, “Ayah, ibu, sebelum ada Allah ada siapa?” Lalu kami menjawab, “Allah itu Ahad (satu), jadi sebelum angka 1 itu 0 (nol). Tetapi putra kami menjawab lagi, sebelum angka 0 (nol) itu kan -1 (minus satu). Kami tidak bisa menjawab lagi dan memberi tahunya kalau kami akan menjawabnya besok atau lusa, insyaa Allah.
Mohon jawabannya yaa Ustadz.
Orang tua
ibnu
Jawaban: Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, Ulama hadits dan fiqih Ahlussunnah asal Suriah telah menjawab pertanyaan
serupa dengan mengutip beberapa hadits berikut.
“Artinya :
Sesungguhnya salah seorang kamu akan didatangi syetan, lalu bertanya :
“Siapakah yang menciptakan kamu?” Lalu dia mejawab : “Allah”. Syetan berkata :
“Kemudian siapa yang menciptakan Allah?”. Jika salah seorang kamu menemukan
demikian, maka hendaklah dia membaca “amantu billahi wa rasulih” (aku beriman
kepada Allah dan RasulNya), maka (godaan) yang demikian itu akan segera hilang
darinya.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad (6/258): “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin
Ismail dia berkata : “Telah bercerita kepadaku Adh-Dhahak, dari Hisyam bin
Urwah dari bapaknya dari Aisyah, bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : (kemudian dia menyebutkan hadits itu).
Saya menilai
: Hadits ini sanadnya hasan, sesuai dengan syarat Muslim. Semua perawi hadits
ini adalah para perawi Muslim yang beliau jadikan pegangan dalam Shahih-nya.
Tetapi Adh-Dhahak adalah Ibnu Utsman Al-Asadi Al-Huzami, dimana sebagian imam
masih memperbincangkan mengenai hafalannya. Namun insya Allah hal itu tidak
menurunkan haditsnya dari tingkat hasan. Bahkan Sufyan Ats-Tsauri dan Laits bin
Salim, menurut Ibnus Sunni (201) sungguh telah mengikuti periwayatannya. Jadi
hadits ini dapat dinilai shahih. Sementara itu Al-Mundziri dalam At-Targhib
(2/266) menjelaskan.
“Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang bagus, kemudian Abu Ya’la dan
Al-Bazzar. Lalu Ath-Thabrani juga meriwayatkannya dalam Al-Kabir dan Al-Usath
dari hadits Abdullah bin Amer. Bahkan Imam Ahmad juga meriwayatkannya dari
hadits Khuzaimah bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu.”
Jadi adanya
beberapa syahid (hadits pendukung) ini dengan sendirinya menaikkan tingkat
hadits tersebut kepada derajat yang sangat shahih.
Hadits Ibnu
Khuzaimah menurut Imam Ahmad (5/214) para perawinya adalah tsiqah, kecuali jika
di antara mereka ada Ibnu Luhai’ah, sebab ia buruk hafalannya.
Mengenai
hadits Ibnu Amer ini, Al-Haitsami (341) berkomentar : Para perawinya adalah
perawi-perawi shahih, kecuali Ahmad bin Nafi’ Ath-Thihan, guru Ath-Thabrani”.
Demikian dia
menandaskan namun tidak menyebutkan sedikitpun mengenai keadaan Ahmad bin Nafi
Ath-Thihan tersebut, begitu tidak simpatiknya Al-Haitsami kepadanya. Demikian
pula saya, sama sekali tidak mengenalnya kecuali bahwa dia orang Mesir,
sebagaimana disebutkan dalam Mu’jam Ath-Thabrani Ash-Shaghir (hal. 10)
Kemudian
sesungguhnya hadits itu juga diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah yang didapat
dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu’ sebagaimana adanya (tidak ada
perubahan apapun).
Hadits ini
dikeluarkan pula oleh Imam Muslim (1/84) dan Ahmad (2/331) dari berbagai jalan
dari Hisyam, tanpa kalimat, “sesungguhnya godaan itu akan hilang daripadanya”.
Selanjutnya
hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu Dawud (4121) yang kalimatnya sampai pada
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saya iman kepada Allah”. Dan ini
merupakan riwayat Muslim.
“Artinya :
Syetan akan datang pada salah seorang kamu, lalu berkata : “Siapakah yang
menciptakan demikian ? Siapakah yang menciptakan demikian? Siapakah yang
menciptakan demikian?” Sehingga dia bertanya : “Siapakah yang menciptakan
Tuhanmu?” Apabila ia sampai demikian, maka hendaknya memohon perlindungan
kepada Allah dan menghentikannya”
Hadits ini
dikeluarkan oleh Al-Bukhari (2/321), Imam Muslim dan Ibnu Sunni.
Hadits ini
juga mempunyai jalur lain yang besumber dari Abu Hurairah dengan lafazh:
“Artinya :
Hampir orang-orang saling bertanya di antara mereka sehingga seorang di antara
mereka berkata : “Ini Allah, menciptakan makhluk, lalu siapakah yang
menciptakan demikian, maka katakanlah : ‘Allah Maha Esa. Allah adalah Tuhan
yang bergantung segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan.
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.’ Kemudian hendaklah salah seorang
kamu mengusir (isyarat meludah) ke kiri tiga kali dan memohon perlindungan dari
syetan.”
Hadits ini
dikeluarkan oleh Abu Dawud (4732) dan Ibnu Sunni (621) dari Muhammad bin Ishaq,
dia berkata : “Telah bercerita kepadaku Utbah bin Muslim, seorang budak yang
dimerdekakan Bani Tamim, dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah
yang menuturkan : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (kemudian ia menuturkan hadits itu)”.
Saya menilai
: Hadits ini shahih sanadnya. Para perawinya tsiqah. Bahkan Ibnu Ishaq juga
menjelaskan berita itu. Hingga dengan demikian amanlah hadits ini dari cela.
Hadits ini
juga diriwayatkan oleh Umar bin Abi Salamah yang mendengar dari bapaknya,
sampai perkataan : “Siapakah yang menciptakan Allah Azza wa Jalla?” Umar bin
Salamah melanjutkan : “Abu Hurairah menceritakan : “Demi Allah, sesungguhnya,
pada suatu hari aku duduk, tiba-tiba seseorang dari penduduk Iraq berkata
kepadaku ” Ini Allah, pencipta kita. Lalu siapakah yang menciptakan Allah Azza
wa Jalla?” Abu Hurairah melanjutkan ceritanya : “Kemudian aku tutupkan jariku
pada telingaku lalu aku menjerit seraya berkata : “Maha benar Allah dan
RasulNya”.
“Artinya :
Allah Esa, tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia”
Hadits ini
dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/387). Para perawinya tsiqah kecuali Umar. Ia
adalah lemah (dha’if).
Menurut Imam
Ahmad (Juz II, hal. 539) hadits ini juga mempunyai jalur lain dari Ja’far dia
memberitakan : “Telah bercerita kepadaku Yazid bin Al-Asham, dari Abu Hurairah
secara marfu’, seperti hadits sebelumnya. Yazid mengisahkan : “Telah
bercerita kepadaku Najmah bin Shabigh As-Salami, bahwa dia melihat para
penunggang datang kepada Abu Hurairah. Kemudian mereka bertanya kepadanya
mengenai hal itu. Lalu Abu Hurairah berkata : “Allahu Akbar” (Allah Maha
Besar). Tidaklah kekasihku bercerita kepadaku tentang sesuatu melainkan aku
telah melihatnya dan aku menunggunya. “Ja’far berkata : “Telah sampai kepadaku
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Artinya :
Manakala orang-orang bertanya kepadamu tentang hal ini, maka katakanlah :
“Allah adalah sebelum tiap-tiap sesuatu. Allah menciptakan tiap-tiap sesuatu
dan Allah ada setelah tiap-tiap sesuatu.”
Sanad
marfu’nya adalah shahih adapun yang disampaikan oleh Ja’far alias Ibnu Burqan
adalah mu’dhal (hadits yang perawi-perawinya banyak yang gugur), dan apa yang
ada di antara shahih dan mu’dhal adalah mauquf. Tetapi Najmah disini tidak saya
kenal. Demikian pula dalam Al-Musnad, Najmah ditulis dengan “mim” (Majmah)
sedangkan dalam Al-Jarh wat Ta’dil (4/1/509), tertulis Najbah dengan “ba”.
Selanjutnya Imam Ahmad menjelaskan.
“Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, dimana Yazid Ibnul Asham juga meriwayatkan darinya, dan
mengatakan : “Saya mendengar bapakku berkata demikian dan tidak menambahkan!”
Juga Al-Hafidzh dalam At-Ta’jil, tidak menambahkannya dan itu sesuai dengan
syarat yang dibuatnya.
Hukum-hukum
yang terkandung dalam hadits (tersebut)
Hadits-hadits
shahih ini menunjukkan bahwa sesungguhnya bagi orang yang digoda oleh syetan
dengan bisikannya, “Siapakah yang menciptakan Allah?”, dia harus menghindari
perdebatan dalam menjawabnya, dengan mengatakan apa yang telah ada dalam
hadits-hadits tersebut.
Lebih
amannya ialah dia mengatakan:
“Saya beriman kepada Allah dan RasulNya. Allah Esa, Allah tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. Kemudian hendaklah dia berisyarat meludah ke kiri tiga kali dan memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syetan, serta menepis keragu-raguan itu”.
“Saya beriman kepada Allah dan RasulNya. Allah Esa, Allah tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. Kemudian hendaklah dia berisyarat meludah ke kiri tiga kali dan memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syetan, serta menepis keragu-raguan itu”.
Saya
berpendapat : Orang yang melakukan demikian (menjawab sesuai hadits di atas,
red.) semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta ikhlas. Maka
keraguan dan godaan itu akan hilang darinya dan menjauhlah setannya, mengingat
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya godaan itu
akan hilang darinya”.
Pelajaran
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini jelas lebih bermanfaat dan
lebih dapat mengusir keraguan daripada terlibat dalam perdebatan logika yang
sengit diseputar persoalan ini. Sesungguhnya perdebatan dalam soal ini amatlah
sedikit gunanya atau boleh jadi tidak ada gunanya sama sekali. Tetapi sayang,
kebanyakan orang tidak menghiraukan pelajaran yang amat bagus ini. Oleh karena
itu ingatlah wahai kaum muslimin dan kenalilah sunnah Nabimu serta amalkanlah.
Sesungguhnya dalam sunnah itu terdapat obat dan kemulianmu.
Wallahua’lam
bish shawwab.
[Dikutip
dari almanhaj, dari salinan buku Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah wa
Syaiun Min Fiqhiha wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan
Sekelumit Kandungan Hukumnya oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani,
terbitan Pustaka Mantiq, hal 368-372 penerjemah Drs.HM.Qodirun Nur]
(adibahasan/arrahmah.com)
- See more
at:
http://www.arrahmah.com/kajian-islam/ayah-ibu-siapakah-yang-menciptakan-allah.html#sthash.QdUJMrYD.dpuf
Ayah, Ibu, siapakah yang menciptakan Allah?
Ayah, Ibu, siapakah yang menciptakan Allah ?
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya
pemimpin. Di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin
atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga shalat
berjamaah bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai
imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus
mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan.
Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu
masyarakat, baik dalam skala kecil apalagi skala besar. Dalam konteks
membangun kehidupan yang lebih baik, seseorang yang dinilai berpotensi
untuk mengemban amanah memimpin tidak dibolehkan mengelak, karenanya
Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa diserahkan kekuasaan urusan manusia
lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang yang
membutuhkannya maka Allah akan mengindahkannya pada hari kiamat (HR.
Ahmad)
Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, banyak orang yang semula memperjuangkan seseorang untuk menjadi pemimpin menjadi kecewa berat dengan sikap, ucapan dan tindakan seorang pemimpin yang dikaguminya. Salah satunya adalah karena sang pemimpin gagal mendisiplinkan dirinya untuk menjadi pemimpin yang sejati sehingga cita-cita ishlahul hukumah (memperbaiki pemerintahan) tidak dirasakan oleh masyarakat, bahkan ada juga yang mengatakan harus dilakukan upaya mereformasi gerakan reformasi. Karena itu menarik untuk merenungi rubrik Pause pada harian Media Indonesia, Senin 11 Januari 2010, rubrik yang mengangkat hasil-hasil penelitian di berbagai negara di dunia.
Mengapa banyak orang berkuasa gagal mematuhi aturan-aturan etis yang justeru mereka ciptakan sendiri?. Sebuah hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa kekuasaan membuat orang lebih ketat mengawasi prilaku orang lain, tetapi membuat mereka longgar terhadap diri sendiri.
“Menurut hasil penelitian kami, kekuasaan dan pengaruhnya dapat menyebabkan keterpautan yang serius antara penilaian publik dan prilaku pribadi. Akibatnya, mereka yang berkuasa akan menjadi lebih ketat menilai orang lain, tetapi longgar terhadap diri sendiri” (Adam Galinsky, peneliti etika pada kellogg School University Northwestern, Amerika Serikat).
Hasil penelitian ini tentu kita rasakan bersama di negera kita, bahkan dalam skala yang lebih kecil di organisasi atau jamaah kita. Di pemerintahan, baik pusat maupun daerah sudah umum bila pemimpin datang ke suatu acara belakangan sehingga bila yang diundang terlambat datang, maka pemimpin lebih terlambat lagi, padahal ia sering menekankan kedisiplinan dari sisi waktu. Ketika pemimpin menekankan kesederhanaan, maka itu tidak berlaku bagi dirinya.
Para pemimpin justeru hidup enak dengan berbagai fasilitas yang menyenangkan, bahkan ada seorang Menteri yang waktu itu kendaraan dinasnya Toyota Camry memberikan sambutan dihadapan kaum muslimin yang disiarkan melalui radio swasta bahwa menjadi menteri itu tidak enak-enak amat dibanding jadi duta besar, karena kendaraan dinasnya Baby Benz dan Volvo, kalau mobil dinas yang sekarang, duduk di mobil itu sama saja dengan duduk di papan kayu. Begitulah ucapan sang menteri yang bekas duta besar di luar negeri.
Jabatan kalau diraih dengan ambisi, dianggap sebagai sebuah gengsi yang bisa mengangkat prestise memang bisa menciptakan kemunafikan. Beda dengan seorang Khalifah, sebut saja diantaranya Umar bin Abdul Aziz yang jabatan itu dianggap sebuah amanah yang harus bisa dipertanggungjawab dihadapan Allah swt. Jabatan dengan sudut pandang seperti itu membuatnya sangat hati-hati dan tidak menganggap sepele persoalan sekecil apapun, bahkan sesuatu yang sekadar dianggap tidak patut sekalipun ditinggalkanya.
Hari pertama sebagai Khalifah, Umar dikejutkan dan mengejutkan banyak orang. Setelah menyelesaikan prosesi penguburan Khalifah Sulaiman, kepadanya disiapkan sejumlah kendaraan yang terdiri dari kuda pengangkut barang, beberapa ekor kuda tunggangan lengkap dengan peralatan dan kusirnya. Beliau bertanya: “Apakah ini?”.
Mereka menjawab: “Ini kendaraan buat khalifah”.
Umar menegaskan: “Hewanku lebih sesuai bagiku”.
Maka Umar menjual semua hewan itu dan uangnya diserahkan kepada Baitul Maal. Begitu pula semua tenda, permadani dan semua tempat alas kaki yang disediakan untuk khalifah-khalifah yang baru. Iapun melakukan evaluasi dan kesimpulannya ia harus menjauhkan diri dari kenikmatan duniawi, maka dikembalikanlah semua tanah perkebunan yang dulu diberikan kepadanya dan dilepaskan harta yang dulu diberikan kepadanya karena ia yakin semua itu bukan harta yang halal, bahkan iapun menanggalkan pakaian yang mahal dan beralih kepada yang murah.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz memang menunjukkan kesederhanaan itu, sebelum menjadi khalifah ia memang sudah menjadi orang kaya, karenanya ia bisa menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang harganya 600 dirham, tapi ketika ia menjadi khalifah ia hanya membeli pakaian yang harganya 6 dirham, hal ini ia lakukan karena kehidupan yang sederhana tidak hanya harus dihimbau, tapi harus dicontohkan langsung kepada masyarakatnya. Raja’ bin Haiwah, seorang menteri pada cabinet Umar.
“Aku disuruh oleh umar bin Abdul Aziz membeli pakaian seharga enam dirham, maka aku belikan seperti apa yang diharapkannya itu dan kemudian beliau berkata : Itulah pakaian yang saya senangi, walaupun itu tidak begitu halus.”
Berkata raja, “Mendengar itu pun aku menangis, terharu.” Khalifah bertanya, “Apa yang engkau tangiskan?”
Raja’ menjawab, “Dulu saya bawa kepada engkau pakaian seharga enam ratus dirham, maka engkau berkata, ‘Saya senang pakaian ini, sayang ini terlalu kasar.’ Tetapi sekarang, setelah engkau jadi khalifah, saya belikan engkau pakaian seharga enam dirham saja, engkau berkata, “Saya senang pakaian ini, ini demikian halus.”
Bahkan Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan bahwa Umar sebelum menjadi khalifah menganggap kasar pakaian yang berharga sampai 800 dirham, namun kini pakaian dengan harta 8 dirham saja dianggapnya begitu halus. Kesederhanaan inipun mendapat dukungan dari anggota keluarganya, isteri dan anaknya.
Sumber : http://www.eramuslim.com/peradaban/pemikiran-islam/drs-h-ahmad-yani-ketua-lppd-khairu-ummah-kekuasaan-ciptakan-kemunafikan.htm#.VprkSkps4_4
Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, banyak orang yang semula memperjuangkan seseorang untuk menjadi pemimpin menjadi kecewa berat dengan sikap, ucapan dan tindakan seorang pemimpin yang dikaguminya. Salah satunya adalah karena sang pemimpin gagal mendisiplinkan dirinya untuk menjadi pemimpin yang sejati sehingga cita-cita ishlahul hukumah (memperbaiki pemerintahan) tidak dirasakan oleh masyarakat, bahkan ada juga yang mengatakan harus dilakukan upaya mereformasi gerakan reformasi. Karena itu menarik untuk merenungi rubrik Pause pada harian Media Indonesia, Senin 11 Januari 2010, rubrik yang mengangkat hasil-hasil penelitian di berbagai negara di dunia.
Mengapa banyak orang berkuasa gagal mematuhi aturan-aturan etis yang justeru mereka ciptakan sendiri?. Sebuah hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa kekuasaan membuat orang lebih ketat mengawasi prilaku orang lain, tetapi membuat mereka longgar terhadap diri sendiri.
“Menurut hasil penelitian kami, kekuasaan dan pengaruhnya dapat menyebabkan keterpautan yang serius antara penilaian publik dan prilaku pribadi. Akibatnya, mereka yang berkuasa akan menjadi lebih ketat menilai orang lain, tetapi longgar terhadap diri sendiri” (Adam Galinsky, peneliti etika pada kellogg School University Northwestern, Amerika Serikat).
Hasil penelitian ini tentu kita rasakan bersama di negera kita, bahkan dalam skala yang lebih kecil di organisasi atau jamaah kita. Di pemerintahan, baik pusat maupun daerah sudah umum bila pemimpin datang ke suatu acara belakangan sehingga bila yang diundang terlambat datang, maka pemimpin lebih terlambat lagi, padahal ia sering menekankan kedisiplinan dari sisi waktu. Ketika pemimpin menekankan kesederhanaan, maka itu tidak berlaku bagi dirinya.
Para pemimpin justeru hidup enak dengan berbagai fasilitas yang menyenangkan, bahkan ada seorang Menteri yang waktu itu kendaraan dinasnya Toyota Camry memberikan sambutan dihadapan kaum muslimin yang disiarkan melalui radio swasta bahwa menjadi menteri itu tidak enak-enak amat dibanding jadi duta besar, karena kendaraan dinasnya Baby Benz dan Volvo, kalau mobil dinas yang sekarang, duduk di mobil itu sama saja dengan duduk di papan kayu. Begitulah ucapan sang menteri yang bekas duta besar di luar negeri.
Jabatan kalau diraih dengan ambisi, dianggap sebagai sebuah gengsi yang bisa mengangkat prestise memang bisa menciptakan kemunafikan. Beda dengan seorang Khalifah, sebut saja diantaranya Umar bin Abdul Aziz yang jabatan itu dianggap sebuah amanah yang harus bisa dipertanggungjawab dihadapan Allah swt. Jabatan dengan sudut pandang seperti itu membuatnya sangat hati-hati dan tidak menganggap sepele persoalan sekecil apapun, bahkan sesuatu yang sekadar dianggap tidak patut sekalipun ditinggalkanya.
Hari pertama sebagai Khalifah, Umar dikejutkan dan mengejutkan banyak orang. Setelah menyelesaikan prosesi penguburan Khalifah Sulaiman, kepadanya disiapkan sejumlah kendaraan yang terdiri dari kuda pengangkut barang, beberapa ekor kuda tunggangan lengkap dengan peralatan dan kusirnya. Beliau bertanya: “Apakah ini?”.
Mereka menjawab: “Ini kendaraan buat khalifah”.
Umar menegaskan: “Hewanku lebih sesuai bagiku”.
Maka Umar menjual semua hewan itu dan uangnya diserahkan kepada Baitul Maal. Begitu pula semua tenda, permadani dan semua tempat alas kaki yang disediakan untuk khalifah-khalifah yang baru. Iapun melakukan evaluasi dan kesimpulannya ia harus menjauhkan diri dari kenikmatan duniawi, maka dikembalikanlah semua tanah perkebunan yang dulu diberikan kepadanya dan dilepaskan harta yang dulu diberikan kepadanya karena ia yakin semua itu bukan harta yang halal, bahkan iapun menanggalkan pakaian yang mahal dan beralih kepada yang murah.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz memang menunjukkan kesederhanaan itu, sebelum menjadi khalifah ia memang sudah menjadi orang kaya, karenanya ia bisa menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang harganya 600 dirham, tapi ketika ia menjadi khalifah ia hanya membeli pakaian yang harganya 6 dirham, hal ini ia lakukan karena kehidupan yang sederhana tidak hanya harus dihimbau, tapi harus dicontohkan langsung kepada masyarakatnya. Raja’ bin Haiwah, seorang menteri pada cabinet Umar.
“Aku disuruh oleh umar bin Abdul Aziz membeli pakaian seharga enam dirham, maka aku belikan seperti apa yang diharapkannya itu dan kemudian beliau berkata : Itulah pakaian yang saya senangi, walaupun itu tidak begitu halus.”
Berkata raja, “Mendengar itu pun aku menangis, terharu.” Khalifah bertanya, “Apa yang engkau tangiskan?”
Raja’ menjawab, “Dulu saya bawa kepada engkau pakaian seharga enam ratus dirham, maka engkau berkata, ‘Saya senang pakaian ini, sayang ini terlalu kasar.’ Tetapi sekarang, setelah engkau jadi khalifah, saya belikan engkau pakaian seharga enam dirham saja, engkau berkata, “Saya senang pakaian ini, ini demikian halus.”
Bahkan Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan bahwa Umar sebelum menjadi khalifah menganggap kasar pakaian yang berharga sampai 800 dirham, namun kini pakaian dengan harta 8 dirham saja dianggapnya begitu halus. Kesederhanaan inipun mendapat dukungan dari anggota keluarganya, isteri dan anaknya.
Sumber : http://www.eramuslim.com/peradaban/pemikiran-islam/drs-h-ahmad-yani-ketua-lppd-khairu-ummah-kekuasaan-ciptakan-kemunafikan.htm#.VprkSkps4_4